Halaman

Selasa, 21 Mei 2013

KEBENARAN ATAU PEMBENARAN






            Sebuah kata benar memiliki arti yang bervariasi jika terletak dalam kalimat yang berbeda, begitu juga jika dirangkaikan dengan imbuhan (seperti awalan sisipan dan/akhiran). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata benar adalah sesuai sebagaimana adanya, betul, tidak salah. Jadi kalau kita berbicara benar, berarti apa yang kita bicarakan adalah tidak salah.
Jika kata benar diberi imbuhan menjadi kata sebenarnya, berarti yakin benar tidak diragukan lagi.
Dari judul di atas kata kebenaran disini bukan maksudnya tanpa disengaja, tetapi seseuatu yang nilainya benar-benar hakiki. Contoh bahwa Quran itu adalah mempunyai nilai kebenaran yang tak bisa diragukan lagi. Ajaran yang dibawa Rasulullah Nabi Muhammad saw itu Islam mengajak manusia pada jalan kebenaran. Jadi intinya kebenaran adalah segala sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi baik penilaian secara khusus maupun secara umum. Contoh lain bahwa memberikan sedekah itu adalah perilaku yang benar dan tidak ada seorangpun yang menyalahkannya.
Ada nilai kebenaran dan itu dianggap benar, tetapi yang menilainya berdasarkan hawa nafsu belaka dan inilah yang disebut dengan pembenaran. Contoh ; pembenaran adalah tindakan yang awalnya tidak benar karena sudah merajalela dan membudaya akhirnya dianggap benar, padahal belum tentu kebenarannya. Jaman sekarang yang katanya jaman edan (padahal dari dulu sampai sekarang, mungkin sampai akhir jaman bahwa jaman itu tidak pernah berubah) padahal yang edan itu yang menjamaninya (disini  mungkin manusia). Masuk pegawai katanya kalau tidak main uang tidak akan bisa. Budaya suap membudaya dan celakanya itu dianggap hal yang lumrah (biasa). Banyak orang yang bangga bisa masuk pegawai (contohnya) PNS habis sekian puluh juta, bahkan ada yang habis lebih dari seratus juta dan celakanya lagi itu dibicarakan pada orang lain. Padahal jika dilihat dari hukum Islam itu aib yang harus disembunyikan. Jadi kesalahan orang yang mengungkapkan masuk PNS habis sekian puluh juta pada orang lain itu memiliki tiga jenis kesalahan, pertama dia menyuap orang supaya diterima jadi pegawai, kedua membenarkan kebiasaan yang salam, ketiga mengungkapkan aib sendiri pada orang lain.
Coba kita sedikit ungkap mengenai hukum orang yang menyuap dan disuap secara Islam. Itu jelas sekali keduanya neraka. Ada suatu dalil (penulis lupa perawi hadisnya, mohon maaaf jika salah) menegaskan sesuatu yang halal jika didapat dengan cara haram maka hasilnya pun jadi haram. Contoh; daging ayam adalah halal untuk dimakan, tapi jika disembelih dengan cara yang tidak baik (tanpa menyebut nama Allah) maka dagingnya jadi haram. Begitu juga gaji seorang pegawai dimanapun (yang dikerjakannya jelas baik dan untuk kemaslahatan umu) itu adalah halal, kecuali kerjaannya berhubungan dengan yang tidak halal, seperti kerja di tempat perjudian, atau menghasilkan barang yang tidak halal, atau menimbulkan dampak yang sebagian hasilnya bertentangan dengan hukum Islam, itu jelas tidak halal. Tapi gaji yang tadinya halal jika saat masuk ke dunia kerjanya dengan cara tidak halal, seperti dengan cara suap, maka gajinyapun tidak halal. Sekarang banyak pembelaan yang pada intinya pembenaran terhadap kegiatan yang salah tadi bahwa gaji tadi di atas dikatakan tidak halal bisa dihalalkan dengan cara mengeluarkan zakatnya. اَسْتَغ فِرٌ الله maafkan kami Yaa Allah yang sudah terlanjur. Coba bayangkan ada peribahasan rusak susu sebelanga karena nila setitik.
Jadi marilah kita berusaha bahwa kebenaran adalah kebenaran dan jangan menjadikan kebiasaan yang nilai kebenarannya tidak hakiki terlalu dianggap benar hanya karena banyak orang yang menyatakan sudah lazim. Salah adalah salah dan benar adalah benar, yang sampai kapanpun benar tidak akan pernah duduk berdampingan tapi akan selalu  berlawanan. Pandanga manusia yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar adalah hal biasa karena manusia dianugerahi nafsu yang pada dasarnya nafsu adalah tempatnya syaitan bertahta. Dimana kalau orang sudah mengikuti hawa nafsu berarti dia sudah diperbudak oleh syetan yang akhirnya akan membenarkan yang salah.
Jadi istilah benar atau segala sesuatu yang kita anggap benar itu bukan pendapat hawa nafsu tapi harus secara logika dan hukum yang kita yakini. Hukum apa? Karena di muka bumi ini banyak hukum produk manusia. Sebaik-baik hukum buatan manusia pasti ada lemahnya, beda dengan hukum yang di buat oleh yang telah menciptakan Dunia dan semua isinya ini, itu adalah mutlak. Marilah kita berkaca pada diri sendiri dan bertanya pada diri sendiri siapa saya, dari mana asal saya, sedang apa sekarang, dan mau kemana pulang. Empat pertanyaan yang tak perlu dijawab, tapi perlu dipikirkan dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
سُبْحَنَ الله  Maha Suci Allah.

ADAB AKHLAQ NABI DALAM BERPAKAIAN




Rasulullah saw dalam memakai pakaian seadanya, berupa kain sarung atau kain selendang atau baju biasa atau jubbah dan lain sebagainya. Kebanyakan pakaiannya berwarna putih. Beliau bersabda :
تَاكُمْ مَوْ وَكَفَّنُوْافِيْهَا ءَكُمْ أَحْيَا هَا أَلْبِسُو
“Pakailah dia (pakaian berwarna putih) kepada orang-orang yang hidup diantara kalian dan kafanilah orang-orang yang mati diantara kalian dengannya.”
Rasulullah saw memiliki jubbah yang dicelup dengan za’faran, terkadang shalat dengan kain itu saja, dan terkadang memakai kain penutup satu lapis. Rasulullah saw punya kain penutup yang dipakainya. Terkadang beliau memakain kain sarung yang kedua ujungnya disimpul diantara kedua pundaknya. Terkadang menshalati jenazah dengan kain tersebut. Terkadang beliau shalat dirumahnya dengan berkemul satu kain sarung, meyelempangkan kedua ujungnya. Terkadang beliau shalat malam dengan berkain sarung dan memakai sebagian pakaian yang menutupi tubuhnya sementara sebagian sisanya menutupi sebagian istrinya lalu shalat dalam keadaaan demikian.
Rasulullah saw bercincin dan cincin itu dipakai untuk menstempel surat. Rasulullah saw juga memakai kopiah di bawah serban dan terkadang tanpa berserban. Jika tidak memakai serban, Rasulullah mengikatkan kain pengikat di kepalanya dan di jidatnya. Apabila memakai pakaian, beliau memakainya dari sebelah kanan terlebih dahulu seraya berdo’a: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi pakaian kepadaku, yang dengannya aku menutup auratku dan berhias di hadapan manusia.”
Rasulullah saw memiliki tikar tidur dari kulit yang diisi dengan serabut kurma. Beliau juga biasa tidur di atas tikar yang di bawahnya tidak ada sesuatu selainnya. Wallahu a’lam bissawab.
(Dicutat dari Mensucikan Jiwa; Said Hawwa)